Kedua adalah Masdar F Mas’udi, tokoh yang sejak mahasiswa telah merintis pembaruan itu, memberikotribusi besar pada gerakan pemikiran NU dengan mengambil peran menterjemahakan gagasan pembaruan yang dilontarkan Wahid secara serampangan dan sporadic itu menjadi agenda pembaruan yang programatis dalam bentuk kurikulum halqah, yang massif sehingga membuat pemikiran Wahid yang abstrak dan kurang sistematis itu bisa dipahami dan diterima khalayak luas dalam NU.
KH Muchith Muzadi, Sang Pelindung Pembaruan NU
Written By Unknown on Minggu, 23 Februari 2014 | 18.17
Walaupun NU secara salah kaprah disebut sebagai organisasi
tradisional yang selalu diasosiasikan sebagai organisasi yang tidak
pernah berubah dan konservatif dalam pemikiran, namun dalam beberapa
dekade belakangan ini kalangan NU mewarnai kancah pembaruan pemikiran
Islam lebih menonjol ketimbang organisasi yang menamakan diri sebagai
pembaru. Pergulatannya dengan khazanah keilmuan klasik itu yang
membuat mereka intensif melakukan kajian Islam, sebagai upaya mencari
relevansi. Di situlah pembaruan tradisi dimulai untuk mencari perspektif
pemikiran baru yang lebih relevan dengan kondisi zaman.
Pembaruan pemikiran itu sebenarnya telah inheren dalam organisasi
manapun, karena itu sulit ditunjuk siapa yang paling berjasa. Tetapi
dalam kasus NU kontemporer secara umum bisa disebutkan kontribusi
penting tiga orang dalam menumbuhan dinamika pemikiran. Pertama
tentu saja Abdurrahman Wahid, sebelum jadi pengurus NU ia telah
melakuakn pembaruan pemikiran, tetapi ketika terpilih menjadi Ketua Umum
PBNU, pembaruan yang dicita-citakan menemukan lahan. Sebenarnya di sini
Ia mengambil peran sebagai pendobrak kebekuan dan melakukan
terobosan-terobosan strategis, baik di bidang pemikiran maupun gerakan
social dengan ide-ide yang brilian.
Kedua adalah Masdar F Mas’udi, tokoh yang sejak mahasiswa telah merintis pembaruan itu, memberikotribusi besar pada gerakan pemikiran NU dengan mengambil peran menterjemahakan gagasan pembaruan yang dilontarkan Wahid secara serampangan dan sporadic itu menjadi agenda pembaruan yang programatis dalam bentuk kurikulum halqah, yang massif sehingga membuat pemikiran Wahid yang abstrak dan kurang sistematis itu bisa dipahami dan diterima khalayak luas dalam NU.
Ketiga, adalah KH Muchit Muzadi, tentu orang heran, apa
peran kiai sepuh yang pikirannya biasa-biasa saja, tidak ada kejuatan
yang ia bikin. Memang tidak ada pemikiran spektakuler dari kiai sepun
itu, tetapi hal itu tidak menafikan kontribusi besar yang ia berikan
pada gerakan yang umumnya digerakkan kalangan muda ini yaitu berperan
sebagai pelidung kaum pembaru terutama dari serangan para kiai senior,
yang pada umumnya garang menghadapi anak muda yang berpikir lain dari
tradisi NU, di situah Kiai Muchit memberikan pembelaan dan sekaligus
memberikan arahan dan tidak jarang dalam bentuk kritik keras.
Masa Pembentukan
Walaupun pria kelahiran Tuban 1925 itu mengaku bukan sebagai anak
kiai atau aktivis pergerakan, tetapi suasan revolusi memaksa dia untuk
aktif di dunia pergerakan, sejak dari pergerakan keilmuan hingga
kemerdekaan. Setelah selesai menyelesaikan di pesantren Tuban ia
melanjutkan belajar ke pesantren Tebuireng, di pesantren yang dipimpin
KH Hasyim Asy’ari itu ia tidak hanya belajar agama, tetapi juga belajar
berorganisasi, karena itu pada tahun 1941, saat usia muda ia telah
menjadi anggota NU. Selain itu di sana ia juga bertemu dengan beberap
santri terkenal dari daerah lain antara lain Ahmad Shiddiq.
Karena ia tidak memiliki prestasi yang menonjol saat itu, makanya
ketika Kiai Wahid Hasyim menyelenggarakan pendidikan kader khusus,
Muchith Muzadi muda tidak termasuk santri yang direkrut. Namun demikian
ia banyak belajar pada peserta kader khusus itu, sehingga ia mendapatkan
pengetahuan umum yang memadai. Kemampuan itu yang dijadikan bekal untuk
mamasuki dunia luar pesantren, yang selanjutnya ia banyak berkiprah di
sana dalam berbagai profesi.
Untuk menerapkan pengetahuannya itu, maka setamat dari Tebuireng ia
kembali ke Kampung halaman di Tuban dengan mendirikan Madrasah Salafiyah
(1946). Walaupun sebagai guru ia juga tidak bertopang dagu, tapi ikut
berjuang melawan penjajah, masuk ke Laskar. Bahkan ketika Jepang datang
para Kiai banyak yang dikejar, termasuk Kiai Machfudz ayah Kiai Sahal
Mahfud mengungsi ke Tuban, tetapi kemudian dilobi oleh utusan Jepang
yaitu habib Husen Al Hamid agar kembali ke Kajen dengan dijamin
keamannannya, Kiai Muchid tidak setuju, sebab musuh bisa saja khianat,
tetapi sang utusan dengan janji dan sumpah yang meyakinkan akhirnya Kiai
Machfud percaya, tetapi Kiai Muchid beserta pemuda lainnya tetap tidak
percaya. Akhirnya, kiai sepuh itu pulang ke Kajen, dalam iringan Jepang,
kerana itu sesampai di sana ia langsung dimasukkan penjara dengan
tuduhan menghasut rakyat. Ketika terjadi perang dan pembakaran kota Pati
termasuk penjara, maka saat itu Kiai Mahfud hilang misterius, entah
dieksekusi Jepang atau yang lain tidak ada yang tahu, sehingga sampai
sekarang tidak ketahuan dimana dimakamkan. (nu.or.id)
Label:
Tokoh
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !