Dulu Mushala dari Ilalang, Kini Asrama dengan Ribuan Santri
Written By Unknown on Minggu, 23 Februari 2014 | 20.58
TEGALSARI – Pondok Pesantren Darussalam Blok Agung, Tegalsari, Banyuwangi awalnya hanya sebatas bangunan mushala kecil. Mushala yang cukup menampung 20 jamaah itu terletak di hutan belantara. Mushala itu di kanan kirinya ditumbuhi tanaman ilalang. Bahkan, pepohonan dan rerumputan di sekitarnya nyaris menutupi atap mushala yang juga terbuat dari ilalang itu. Mushala kecil yang sangat sederhana dari gedek bambu itu mempunyai ukuran 7 x 5 meter persegi. Mushala itu dibangun pada tanggal 15 Januari 1951. ’’Kalau dilihat dari titik ordinatnya mushala itu tepatnya di daerah Banyuwangi selatan sekitar 13 kilometer dari Kota Tegalsari dan kurang lebih 45 kilometer dari Kota Banyuwangi,’’ kata KH Hisyam Syafa’aat kepada nubanyuwangi.or.id.
Tak dinyana, mushala yang mulanya didirikan oleh KH Syafa’at Abdul Ghafur, ayahanda Kyai Hisyam itu kini menjadi tempat menimba ilmu ribuan santri dari seluruh Indonesia. Tanahnya yang subur dan udaranya yang sejuk menambah betah para santri yang mondok di sana. Kawasan yang dulunya hutan itu, kini berdiri megah sebuah bangunan bernama Ponpes Darussalam. Kawasan ini pun kini telah berubah bak kota metropolitan. Rumah-rumah penduduk dengan berbagai arsitektur berjajar di sekitar ponpes. Tidak ketinggalan pertokoan dengan aneka ragam jualannya menambah indah kawasan ponpes terbesar di Banyuwangi itu. Itu pula yang menambah daya tarik para santri mondok di Blok Agung. ’’Di Banyuwangi di antara salah satu pondok terbesar jumlah santrinya adalah pondok kami. Bahkan tahun ini santri putra dan Putri berjumlah 2.200 orang,’’ urai Kyai Hisyam.
Ada cerita sakral dibalik berdirinya Ponpes Darrussalam. Cerita itu dimulai nyantrinya Kyai Syafa’at (alm) ke Mbah Ibrahim (alm) di Dusun Jalen, Desa Setail, Kecamatan Genteng. Di Jalen, Kyai Syafa’at selama 23 tahun mengabdi pada Mbah Ibrahim. Perjuangannya di Jalen tidak main-main. Kyai khos itu begitu tekun dalam menuntut ilmu. Walaupun banyak rintangan Kyai Syafaat tidak menyerah. Bahkan, walau sempat dibenci oleh Kyai Dimyati (putra Mbah Ibrahim) Kyai Syafaat tetap sabar. ”Tapi memang Kyai Dimyati itu orangnya jadzab (punya kelebihan, Red) makanya bapak tidak pernah sakit hati,’’ tutur Kyai Hisyam menelisik kisah perjuangan ayahandanya. Suatu ketika, saat sedang mengajar, Kyai Syafa’at tiba-tiba dihardik oleh Kyai Dimyati. Bersama kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling, Kyai Syafa’at diusir keluar pondok. Memang ketiganya adalah santri yang dibenci oleh Kyai Dimyati. Karena terus-menerus dihardik, akhirnya Kyai Syafa’at meninggalkan pesantren di Jalen. Kemudian Kyai Syafaat yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan bergegas ke kediaman kakak perempuannya, Uminatun di Blokagung.
Dari situ selangkah demi selangkah Kyai Syafaat kemudian mendirikan mushala. Awalnya santri yang diajar tidak lebih dari sepuluh orang. Kemudian berkembang menjadi puluhan, ratusan hingga ribuan. Karena dari waktu ke waktu orang yang nyantri semakin banyak, maka dirasa perlu mendirikan pondok dengan ukuran yang lebih besar. Itu diharapkan agar masyarakat di sekitarnya kala itu tidak buta terhadap nilai-nilai agama. ’’ Menghadapi keadaan yang demikian beliau sabar dan penuh kasih sayang tetap mencurahkan kemampuannya untuk membangun pesantren yang bergaris ahlussunah waljamaah,’’ tegasnya. Tidak berhenti di situ. Bahkan, saat akan mendirikan ponpes tersebut Kyai Syafa’at sempat memiliki doa khusus. Doa itu hingga kini masih terpatri di hati Kyai Hisyam. Kurang lebihnya doa tersebut demikian ; “Ya Allah Ya tuhan kami, berikanlah petunjuk kaum ini, karena sesungguhnya mereka itu belum tahu,’’ ucap Kyai Hisyam menirukan doa orang tuanya.
Akhirnya, doa itu terkabulkan. Sesuai dengan harapan Kyai Syafa’at, kini Ponpes Darussalam sebagai tempat untuk mendidik para sahabat dan masyarakat sekitarnya yang belum mengenal agama sama sekali ternyata terwujud. ‘’Harapan beliau ponpes ini harus menjadi tempat pendidikan masyarakat sampai akhir zaman,’’ ujar Kyai Hisyam. Ditambahkan, ayah tercintanya mengerjakan bangunan pondok ini sendiri dan dibantu oleh santrinya. Selama pembanguna berjalan, selalu memberikan bimbingan dalam praktek pertukangan dan dorongan bahwa setiap pembangunan apa saja supaya dikerjakan sendiri semampunya. Apabila sudah tidak mampu barulah mengundang dan meminta bantuan kepada arang lain yang ahli tujuannya agar kita dapat belajar dari padanya untuk bekal nanti terjun di masyarakat. “Sosok almarhum yang mashur dan alim sehingga perlu merawat dan melestarikan pendidikan yang mengandung nilai-nilai Islam Ahlussunnah Walajamaah,” ujar Kyai yang juga menjadi rais syuriah PCNU Banyuwangi itu. Hal yang sama disampaikan oleh Abdul Kholiq Syafa’at, adik Kyai Hisyam. Gus Kholiq, panggilan akrabnya, menyampaikan saat itu ayahandanya tidak sendirian dalam mendirikan dan mendidik santri. Abahnya dibantu almarhum Kyai M. Muhyiddin dan almarhum Mua’alim Syarqowi yang sama-sama memiliki keteguhan dan kesabaran dalam berdakwah.
Gus Kholiq menambahkan, seiring dengan kemajuan dan tuntutan zaman ponpes ini menfasilitasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain mempelajari ilmu-ilmu agama ada juga ilmu-ilmu umum sesuai jenjangnya. Saat ini Ponpes Darussalam memiliki jenjang pendidikan diniyah seperti shifir sampai ulya dan sekolah formalnya mulai dari Taman kanak-kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi (PT). “Santri dan pelajar merasakan kepuasan nyantri di pondok ini,’’ tegar Rektor STAIDA Blok Agung itu.
http://www.nubanyuwangi.or.id
Label:
berita
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !