Headlines News :
Home » » Lagu Genjer-Genjer Hasil Ciptaan Santri

Lagu Genjer-Genjer Hasil Ciptaan Santri

Written By Unknown on Minggu, 23 Februari 2014 | 20.48

Sejarah panjang kesenian Islam (bernafaskan islam-red) di Kabupaten Banyuwangi, muncul sejak Era Kerajaan Blambangan. Diawali dari Kerajaan Macan Putih saat Raja Tawang Alun berkuasa. Benih-benih kesenian bercorak Islam, sudah mulai muncul. Ini ditandai dengan pembacaan Lontar Yusuf kala itu. “Lontar Yusuf yang merupakan plesetan sastra bercerita tentang Nabi Yusuf, ini sudah ada sejak masa Prabu Tawang Alun,” ujar Taufiq Wr Hidayat, budayawan muda Banyuwangi.
Menurut Taufiq, demikian pria ini biasa dipangil, selain pembacaan Lontar Yusuf yang bernafaskan Islam, pendirian masjid pertama kali di Banyuwangi juga terjadi pada saat itu, yakni Masjid Macan Putih yang didirikan oleh Kiai Tompo Wijoyo dan Kiai Shidiq. Konon diceritakan, kedua ulama’ ini adalah murid Syeh Siti Jenar.
Secara eksplisit, kata taufiq, kemunculan kesenian Islam juga dicerminkan oleh pembuatan simbol ular berkepala Gatot Kaca. Simbol ini, menurutnya, dibuat sebagai cermin dari badan yang kuat dengan kepala pemimpin yang bijak. “Itu bukan sembarangan tapi ada filosofinya,” tegasnya.
Sebelumnya, nafas-nafas Islam juga sudah mulai tergambar dalam kesenian Janger Rengganis yang tergabung dalam Kesenian Agawe Rukun Santoso (KARS). Dalam pementasan kesenian tersebut, menggambarkan tentang perlawanan rakyat jelata terhadap penguasa. Tapi karena dinilai tidak berpihak, lalu materi pementasan kesenian diganti oleh penguasa kala itu.
Pada 1940, jelas dia, mulai muncul kendang kempul yang ditandai dengan lahirnya lagu Genjer-Genjer oleh Muhammad Arif. Menurut taufiq, pada dasarnya, Genjer-Genjer adalah lagu yang bernafaskan Islam karena berisi tentang kondisi masyarakat kala itu.
“Menurut saya, itu (Genjer-Genjer) lagu Islam karena selain muatan isinya bernafaskan Islam, penciptanya juga orang Islam. Bahkan dia (Muhamad Arif) adalah seorang santri. Namun pada 1960-an, lagu ini digunakan slogan politik oleh salah satu partai (PKI) kala itu, sehingga lagu tersebut seakan-akan menjadi sangat tidak Islami,” ujar Taufiq.
Berawal dari situasi politik itulah, organisasi Gerakan Pemuda (GP) Ansor membuat lagu tandingan, yang kemudian muncul Sholawat Badar yang diciptakan oleh Kiai Ali Mansur dari Kelurahan Karangrejo, Kecamatan Banyuwangi. “Dari esensi kedua jenis lagu tersebut, sama-sama bernafaskan Islam. Tapi karena kepentingan politik, nilai ke-Islamannya dilupakan begitu saja,” ketusnya.
Selanjutnya, masih kata dia, pada 1980-an, muncullah seni hadrah dan qosidah. Kemudian disusul dengan seni patrol pada 1990-an. Karena orang Banyuwangi lebih suka musik khas daerah, lalu hadrah dikolaborasi dengan musik kuntulan.
Menurut Taufiq, seni Islam itu bukan dilihat dari corak dan tampilannya, namun dilihat dari esensi ke-Islamannya. “Kesenian Islam itu bukan pada bentuknya, tapi pada isinya. Jika isinya bisa mengantarkan kita pada Allah, maka itu adalah kesenian Islam,” cetusnya.
Lantas, bagaimana kondisi kesenian Banyuwangi saat ini. Menurut Taufiq, seni dan budaya Banyuwangi dapat dibagi menjadi dua. pertama, butuh hidup, dan kedua, sudah mati. Yang saat ini masih ada, dan perlu terus dihidupkan ialah Seblang dan Angklung Paglak. Sementara gandrung, sebut dia, sudah punah setelah masanya Gandrung Temuk. Gandrung yang ada saat ini, sebenarnya Gandrung Entertainment semata. “Gandrung itu sudah punah, terakhir kita melihat benar-benar gandrung itu adalah Gandrung Temuk,” ujarnya.
Mulai hilangnya gandrung ini, kata taufiq, disebabkan kurangnya perhatian pemerintah untuk memberdayakan kesenian itu sendiri dan para pelakunya. Petaka yang dialami Gandrung Temuk, sama sekali tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Padahal lagunya Temuk, digunakan sebagai Sound Track Film kolosal di Amerika yang berjudul Troy. Sound track yang berisikan suara Temuk tersebut diberi judul Song Before Dawn.
Lagu tersebut, kemudian dipotong dan dicetak dalam kepingan CD, dan lagu Temuk ini masuk Best Seller di Amerika. Meski bisa menghasilkan miliaran dolar Amerika, Temuk sepersenpun tak dapat bagian dari lagu tersebut. “Begitulah yang akan terjadi jika kita tidak bisa memelihara Seni dan Budaya kita,” pungkas Taufiq.

http://www.nubanyuwangi.or.id
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Nasehat

Nasehat
 
Support : Creating Website | Johny Template | @Fauzan Ihsan

Copyright © 2014. MWC NU Kecamatan Tegalsari - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MWC NU Tegalsari