Headlines News :
Home » » Bagi Pesantren, Pembukaan UUD 1945 adalah ‘Mitsaqan Ghalidhan’

Bagi Pesantren, Pembukaan UUD 1945 adalah ‘Mitsaqan Ghalidhan’

Written By Unknown on Minggu, 05 Februari 2017 | 19.46

Mencermati kondisi mutakhir persatuan bangsa, keluarga besar Pesantren Tebuireng dan civitas akademika Universitas Hasyim Asy'ari (Unhasy) menyampaikan rumusan Pesan Kebangsaan Pesantren Tebuireng. Pesan keprihatinan itu dibacakan oleh KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) saat menutup acara peresmian Pusat Kajian Pemikiran KHM Hasyim Asy'ari, Ahad (5/2).

Gus Sholah menilai, bangsa Indonesia adalah adikarya para pendiri bangsa yang amat ideal. Namun, perjalanan 71 tahun belum cukup memadai untuk bisa mewujudkan cita-cita kemerdekaan secara nyata. "Kita masih menghadapi banyak masalah mendasar yang harus diselesaikan," kata salah satu cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu.

Bagi kalangan pesantren, Pembukaan UUD 1945 adalah mitsaqan ghalidhan (kesepakatan kokoh) para pendiri bangsa yang menjadi dasar bangunan negara sebagai pengejawantahan dari cita-cita bangsa Indonesia. Di dalamnya tercantum tujuan didirikannya negara dan dasar Negara Pancasila. "Karena itu, Pembukaan UUD 1945 adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa diubah," tegasnya.

Menurut adik kandung Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid ini, keindonesiaan dan keislaman yang semula dipertentangkan, telah berhasil dipadukan oleh para pendiri bangsa. "Perpaduan yang merupakan faktor utama persatuan Indonesia dan berpotensi menjadi model bagi dunia ini, harus kita kawal dan rawat bersama. Jangan sampai dilemahkan," tutur Rektor Unhasy itu.

Selama hampir 40 tahun setelah kemerdekaan, pertentangan itu masih ada. Dan, proses perpaduan itu mencapai puncak kematangannya pada 1984, saat NU secara resmi menerima Pancasila.  "Ironisnya, saat ini kita melihat ada gejala yang mempertentangkan lagi," ujarnya.

Diakui oleh Gus Sholah, salah satu hal yang mendasari lahirnya pesan kebangsaan ini adalah timbulnya ontran-ontran (gonjang-ganjing) politik, terutama karena pilkada DKI. "Ada kesan, yang mendukung Ahok bukan Islam. Sedangkan yang tidak mendukung Ahok bukan Indonesia. Itu dua-duanya keliru," tegasnya.

Selain merespons situasi politik, pesan kebangsaan itu juga menyoroti fenomena ketidakadilan sosial dan ekonomi yang ada di tengah masyarakat. Juga jaminan hak dasar yang harus terus dipenuhi oleh negara secara bertahap. "Termasuk jaminan kebebasan beragama, perlu diterapkan secara utuh di dalam masyarakat," tandas mantan Wakil Ketua Komnas HAM ini.

Keluarga besar Pesantren Tebuireng juga berharap, peran aktif Indonesia yang berdaulat dalam perdamaian dunia sebagai tujuan bernegara perlu ditingkatkan.

Untuk mewujudkan semua itu, ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi. Antara lain, diredamnya (potensi) konflik dan tumbuhnya rasa saling percaya antar kelompok masyarakat dan penegakan hukum yang menjamin keadilan. Juga, perbaikan akhlak bangsa, khususnya generasi muda dan mencegah merebaknya penyakit sosial.

Perbaikan birokrasi penyelenggara negara supaya efisien, efektif dan tidak korup juga tidak kalah penting. "(Prasyarat terakhir), hadirnya partai politik yang punya idealisme dan dipimpin oleh tokoh negarawan," urai Gus Sholah.

Acara yang berlangsung di Aula Gedung KH Yusuf Hasyim Tebuireng itu juga dihadiri oleh mantan Menteri Agama KH Tolchah Hasan dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta Masykuri Abdillah. Juga, wakil Rektor Unhasy Haris Supratno dan Wakil Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz. (Ibnu Nawawi/Mahbib)
Share this article :

Nasehat

Nasehat
 
Support : Creating Website | Johny Template | @Fauzan Ihsan

Copyright © 2014. MWC NU Kecamatan Tegalsari - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by MWC NU Tegalsari