Imam al-Ghazali dan Pentingnya Mengenali Diri Sendiri
Written By Unknown on Kamis, 23 Februari 2017 | 23.57
Khutbah I
الحَمْدُ
لِلهِ الَّذِيْ جَعَلَ التّقْوَى خَيْرَ الزَّادِ وَاللِّبَاسِ
وَأَمَرَنَا أَنْ تَزَوَّدَ بِهَا لِيوْم الحِسَاب أَشْهَدُ أَنْ لاَ
اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ رَبُّ النَّاسِ وَأَشْهَدُ
أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المَوْصُوْفُ بِأَكْمَلِ
صِفَاتِ الأَشْخَاصِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وسَلّمْ تَسليمًا كَثِيرًا ، أَمَّا بَعْدُ ،
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ
وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhamad al-Ghazali dalam kitabnya Kîmiyâ’us Sa‘âdah mengatakan bahwa mengenal diri (ma‘rifatun nafs)
adalah kunci untuk mengenal Allah. Logikanya sederhana: diri sendiri
adalah hal yang paling dekat dengan kita; bila kita tidak mengenal diri
sendiri, lantas bagaimana mungkin kita bisa mengenali Allah? Imam
al-Ghazali juga mengutip hadits Rasulullah “man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah” (siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya).
Dalam Surat Fusshilat ayat 53 juga ditegaskan:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى؟ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dunia ini dan di dalam diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.”
Tentu
saja yang dimaksudkan Imam al-Ghazali di sini lebih dari sekadar
pengenalan diri secara lahiriah: seberapa besar diri kita, bagiamana
anatomi tubuh kita, seperti apa wajah kita, atau sejenisnya. Bukan pula
atribut-atribut yang sedang kita sandang, seperti jabatan, status
sosial, tingkat ekonomi, prestasi, dan lain-lain. Lebih dalam dari itu
semua, yang dimaksud dengan “mengenal diri” adalah berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar:
Siapa aku dan
dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan
persinggahanku di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati dapat
ditemukan?
Di sini kita diantarkan untuk
memilah, mana yang bersifat hakiki dalam diri kita dan mana yang tidak.
Serentetan pertanyaan sederhana namun sangat kompleks. Butuh perenungan
diri untuk menjawab satu persatu pertanyaan tersebut. Jawabannya mungkin
sudah sangat kita hafal, tapi belum tentu mampu kita resapi sehingga
menjiwai keseluruhan aktivitas kita.
Jamaah shalat Jum’at rahimakumullah,
Untuk
mengenali diri sendiri, Imam al-Ghazali mengawali penjelasan dengan
menyebut bahwa dalam diri manusia ada tiga jenis sifat: (1) sifat-sifat
binatang (shifâtul bahâ’im), sifat-sifat setan (shifâtusy syayâthîn), sifat-sifat malaikat (shifâtul malâikah).
Apa
itu sifat-sifat binatang? Seperti banyak kita jumpai, binatang adalah
makhluk hidup dengan rutinitas kebutuhan bilogis yang sama persis dengan
manusia. Mereka tidur, makan, minum, kawin, berkelahi, dan sejenisnya.
Manusia pun menyimpan kecenderungan-kecenderugan ini, dan bahkan
memiliki ketergantungan yang nyaris tak bisa dipisahkan. Watak-watak
tersebut bersifat alamiah dan dalam konteks tertentu dibutuhkan untuk
mempertahankan hidup.
Yang kedua, sifat-sifat
setan. Setan adalah representasi keburukan. Ia digambarkan selalu
mengobarkan keja¬hatan, tipu daya, dan dusta. Demikian pula orang-orang
yang memiliki sifat setan. Sementara yang ketiga, sifat-sifat malaikat
berarti sifat-sifat yang senantiasa menerungi keindahan Allah,
memuji-Nya, dan mentaati-Nya secara total.
Ringkasnya,
kebahagiaan hewani adalah ketika ia kenyang, mampu memuaskan hasrat
dirinya, atau sanggup mengalahkan lawan untuk memenuhi kepentingan
dirinya sendiri—atau paling banter untuk keluarganya. Sedangkan
kebahagiaan setan adalah tatkala berhasil mengelabuhi yang lain atau
memproduksi keburukan. Sementara kebahagiaan malaikat ialah saat diri
kian mendekat kepada Allah dan semua aktivitas merupakan cerminan dari
kedekatan itu.
Jama’ah shalat jum’at rahimakumullah,
Imam
al-Ghazali mengatakan bahwa diri manusia layaknya sebuah kerajaan yang
terbagi dalam empat struktur pokok: jiwa sebagai raja, akal sebagai
perdana menteri, syahwat sebagai pengumpul pajak, dan amarah sebagai
polisi.
Syahwat memiliki karakter untuk menarik
manfaat, kenikmatan, dan keuntungan sebanyak-banyaknya. Ia befungsi
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan individu. Sementara amarah
berfungsi melindungi dari berbagai ancaman atau mudarat, karenanya ia
identik dengan karakter berani, cenderung kasar dan keras. Keduanya
penting untuk kehidupan manusia. Dengan syahwat manusia tahu akan
kebutuhan makan, misalnya; dengan amarah, ia mengerti akan perlunya
membela diri ketika serangan mengancam. Namun syahwat dan amarah harus
didudukkan di bawah kendali akal dan tentu saja di bawah raja.
Apabila
syahwat dan amarah menguasai akal/nalar maka kerajaan terancam runtuh.
Sebab susunan “kekuasaan” tak terjalan menurut kontrol seharusnya.
Syahwat yang di luar kendali akal dan jiwa akan memunculkan sifat-sifat
buruk seperti rakus atau tamak. Sementara amarah yang tak terkendali
akan menimbulkan kebencian dan kecurigaan berlebihan sehingga muncul
sikap-sikap membabi buta dan semena-mena.
Akal pun mesti berada di bawah kendali jiwa atau hati (qalb).
Akal memang memiliki potensi yang istimewa: berpikir, berimajinasi,
menghafal, dan lain-lain. Bila ia bertindak liar maka potensi akal untuk
menjadikan manusia sebagai tukang tipu daya atau semacamnya sangat
mungkin. Kalau kita pernah mendengar kalimat “orang pintar yang gemar
minterin (memperdaya) orang lain” maka itu tak lain akibat akal bertolak
belakang dengan nurani alias tak berada dalam naungan jiwa yang bersih.
Untuk
mencapai jiwa yang berkuasa utuh, Imam al-Ghazali menekankan adanya
perjuangan keras dalam olah rohani (mujâhadah) demi proses pembersihan
jiwa atau tazkiyatun nafs. Jiwa yang jernih akan memicu munculnya cahaya ilahi yang member petunjuk manusia akan jalan terbaik bagi langkah-langkahnya.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Artinya:
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (muhajadah) untuk untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami.” (Al-'Ankabut: 69)
Semoga
kita termasuk orang-orang yang lebih banyak belajar mengenali diri
sendiri, ketimbang menilai orang lain, untuk menggapai kebahagiaan
hakiki.
باَرَكَ
اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ
بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ
بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ
وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا
كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ
وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ
بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ
تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ
اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ
وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ
اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى
وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ
لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ
بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ
وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ
اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ
وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ
وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ
وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا
اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ
وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا
اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً
يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى
اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا
اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ
اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ
وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ
وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ
يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Alif Budi Luhur
Label:
Khutbah
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !